Wahyu Choerul Cahyadi*
Sastra pesantren merupakan khasanah budaya. Eksotisme pesantren dapat dilihat dari banyak sisi, baik lingkungan, pendidikan, pengajaran, manusia, bahkan dapat dilihat dari adat istiadatnya dan juga seninya. Sastra pesantren, dalam artian produktifitas santri pesantren dalam melakukan gerak bersastra untuk melahirkan karya sastra dan sastrawan yang berasal dari pesantren, atau lebih tepatnya semangat melakukan gerak sastra di pesantren. Itu sekelumit maksud dari sastra pesantren.
Banyak contoh sastrawan yang berasal dari pesantren, Emha Ainun Najib, Hamid Jabbar, Zainal Arifin Toha, D. Zawawi Imron hingga K.H. Mustofa Bisri serta sederet nama yang lainnya. Pesantren erat sekali hubungannya dengan sastra, syair-syair klasik dalam bentuk lagu puji-pujian bagian dari imajinasi dalam bersastra. Setidaknya, posisi sastra dalam dunia pesantren begitu tinggi. Integral, menyatu antara sastra dan pesantren, itu yang mesti dipahami.
Mengggagas Kembali Gerakan Sastra Pesantren
Menjadi penting sekali untuk digugah semangat bersastra dalam pesantren. Semangat menghasilkan sebuah karya, semangat dalam melakukan gerak bersastra. Kabupeten Banyumas, kurang lebih ada 150 lebih pesantren, baik skala kecil maupun besar yang berdiri diseluruh wilayah Banyumas. Dipandang dari banyaknya pesantren tentunya Banyumas merupakan lahan subur untuk menghasilkan para seniman sastra pesantren. Tapi yang menjadi pertanyaan, masihkah ada greget bersastra di pesantren? atau yang menjadi persoalan apakah tidak ada yang mencoba menghidupkan sastra atau sastrawan pesantren di wilayah Banyumas, sehingga kesunyian seniman santri dapat hidup kembali, tidak mati suri atau bahkan benar-benar mati.
Ini yang penting kita jawab secara bersama, tentang keberadaan dan kepedulian serta eksistensi terhadap sastra pesantren. Pesantren memiliki eksotisme tersendiri, sastra bagian dari ruh pesantren --ketika kita mau menengok sejarah. Mercusuar Banyumas bisa disentuh melalui pesantren yang mampu produktif menghasilkan berbagai ciri khas pesantren.
Santri haruslah diberi injeksi gerak bersastra, dan injeksi bersastra secara massif harus sering diberikan, sehingga pesantren mampu melahirkan sastrawan yang mampu keluar dari kurungan. Kemudian, siapa yang lebih mempunyai kewenangan untuk menggugah kembali sastra pesantren? Apakah dari kalangan santri sendiri, atau dari pihak pesantren ataukah ada lembaga yang lebih peduli?
Tentu, semua unsur mesti terlibat. Dari pihak santri sendiri dapat mengambil spirit para pendahulunya yang telah menyatukan diri mereka dengan dimensi seni sastra untuk dijadikan inspirasi dalam berkarya sastra, dengan membuat forum-forum diskusi kecil yang mengkaji sastra. Pihak pesantren yang merupakan ”induk semang” dari para santri, lebih membuka diri dan melakukan dorongan aktif untuk melakukan gerak sastra. Karena ketika pihak pesantren memberikan restu serta mendorong gerak dalam bersastra, ta’dhim para santri terhadap apa yang dianjurkan oleh pihak pesantren (para pengasuh pondok/ kyai) akan diturut. Itu garapan internal yang mesti dilakukan oleh pesantren dan nantinya agar seniman sastra pesantren tetap ada.
Disatu sisi dorongan dari luar pesantren memang harus ada, tanggung jawab untuk merawat sastra pesantren harus dilakukan dan wajib sifatnya. Pihak yang lebih terkait adalah Dewan Kesenian Kabupaten Banyumas (DKKB) yang lebih memiliki kewenangan. DKKB diharapkan mampu merangkul pesantren untuk melahirkan para seniman (baca: sastrawan). Secara simultan, dewan kesenian melakukan kontrol, komunikasi serta suntikan nafas segar bagi keberlangsungan langkah gerak sastra pesantren. Berbagai bentuk kegiatan yang mengarah proses kreatif para santri dalam bersastra haruslah sering dilakukan. Inilah bagian dari solusi dan peran yang mesti dilakukan oleh DKKB dalam mengawal eksistensi sastra pesantren
Pesantren di Kabupaten Banyumas perlu melakukan perubahan untuk lebih produktif melahirkan para seniman (baca: sastrawan). DKKB menjadi dinamisator yang terus melakukan dorongan dari luar. DKKB diharapkan mampu melakukan terobosan-terobosan yang lebih tajam, sehingga Banyumas dapat mengangkat mutiara-mutiaranya menjadi penerus generasi sastra santri.
Eksistensi sastra pesantren diperlukan, di mana Al-Quran telah memposisikan sastra bagitu tinggi, dan pesantren tidak bisa lepas dari sejarah, bahwa sastra merupakan bagian integral dari pesantren. Oleh karena itu, menggagas kembali sastra pesantren sudah tiba waktunya. Maka memerlukan motor penggerak utama, DKKB merupakan kunci utamanya. Dengan suburnya kajian sastra di pesantren diharapkan menjadi lautan sastrawan dalam melakukan gerak sastra yang memberikan dimensi spiritual di tengah gejolak bangsa yang semakin tidak karuan. Kesejukan sastra pesantren yang lahir dari tangan-tangan yang erat sentuhannya dengan dimensi spiritual merupakan ciri khas yang berbeda.
Wallohua’lam bisshowab.