Menggagas Kesadaran Diri
(Salah Satu Proses Menanggulangi Global Warming)
Oleh; W. Choerul CaAhyadi*
Global warming atau dalam bahasa Indonesianya adalah pemanasan global. Isu pemanasan global begitu hangat mencuat, seakan-akan menggeser isu-isu lainnya semisal HAM, teroris dan isu-isu kemanusian yang lainnya. Memang tidak dapat dipungkiri isu ini melaju pesat hingga ke desa-desa, khususnya negara Indonesia. Bahkan anak sekolah dasar juga fasih mengucapkan istilah global warming dan pertemuan-pertemuan dalam lingkup Rt/Rw jua latah dalam arus yang sama (global warming).
Apa itu global warming? Setidaknya kata itu dapat diartikan sebagai kejadian naiknya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi (www.wikipedia.org). Akibat dari pemanasan global adalah berdampak pada mencairnya es yang berada di kutub, dan ketika ini terjadi maka air laut akan melimpah ruah, yang pada akhirnya mampu meneggelamkan bumi ini. Begitu dahsyatnya dampak yang akan terjadi.
Pertemuan di Bali yang membahas tentang konferensi perubahan iklim sudah rampung dilangsungkan, tapi apa yang dihasilkan (diputuskan)? Kekuatan politik dan ekonomi masih mewarnai konferensi tersebut. Negara-negara produsen rumah kaca (negara-negara maju, (G8)) bersikukuh dengan asumsi bahwa pemanasan global tidak seutuhnya dihasilkan dari efek rumah kaca. Keselamatan manusia semakin terancam. Belum selesainya isu-isu teroris yang masih membekas, kini giliran saudara muda isu (global warming) muncul menakutkan kehidupan manusia di dunia.
Gejala apa gerangan dunia ini? Benarkah global warming adalah hal yang pasti mengancam kehidupan manusia ataukah sekedar ”lipat isu” belaka. Entahlah. Akan tetapi isu ini sudah akut dibahas oleh berbagai kalangan. Tentu, dapat menjadi bahan diskusi panjang di warung kopi dan jalan-jalan.
Penulis sendiri dipaksa untuk percaya dengan adanya isu global warming ini, hegemoni isu ini memang kuat, karena dampak yang mengancam habitat manusia memang mengerikan, ini yang menjadi titik krusial, kenapa dan mengapa global warming di-isukan. Sejurus dengan itu, perlu adanya injeksi kesadaran dari semua unsur yang ada. Kesadaran menjadi kunci pokok untuk melakukan berbagai hal yang lebih baik tentunya. Dewasa ini, seakan-akan kita tidak memiliki kesadaran akan akibat dan dampak membalak hutan, membuang sampah sembarangan, eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran, penambangan liar, serta banyak lagi perilaku jahanam yang setiap saat dapat dilakukan oleh manusia.
Kesadaran diri akan kerugian kolektif haruslah dipahami dari pada keuntungan materi secara personal akibat hal-hal yang menyimpang. Tentunya, kembali kepada individu masing-masing, karena kesadaran memang berawal dari dalam diri setiap manusia. Isu global warming tetap berlanjut dan mencengkram degup jantung manusia, manusia tak pernah aman hidup di dunia ini. Manusia semakin dikejar-kejar oleh ancaman, hidup semakin tidak berarti walau kecanggihan terus membahana. Tentunya, kecanggihan itu sendiri yang akan mengancam kehidupan massal manusia.
Hal terpenting adalah, sadar diri dan sadar posisi! Inilah salah satu prinsip dasar yang patut ditanam bagi setiap manusia. Kesadaran akan bahaya membalak hutan, kesadaran akan membuang sampah sembarangan, kesadaran akan penambangan liar yang akan berakibat buruk. Maka satu kata yaitu hentikan dan jangan teruskan!
Apakah kita akan menikmati keindahan dunia kisaran waktu 100 tahun kedepan? atau 1000 tahun kedepan?, sadarkah kita saat ini, bahwa apa yang kita lakukan telah merugikan banyak pihak, sadarkah kita saat ini apa yang kita perbuat hanya menguntungkan untuk diri kita, sadarkah kita saat ini bahwa banyak ketimpangan yang terjadi, sadarkah kita, sadarkah kita, sadarkah kita......???
Apapun bentuk solusi yang ditawarkan untuk melakukan penanggulangan global warming jika tidak dilandasi dengan kesadaran pribadi dan kemudian menuju kesadaran kolektif, maka hanyalah isapan jempol belaka. Undang-undang HAM telah terbentuk namun masih banyak pelangggaran HAM. Pelanggaran-pelanggaran produk hukum masih sering kita temukan, ini tentu berawal dari ketidaksadaran akan produk peraturan yang dihasilkan. Menjadi mubah apa yang dirumuskan.
Sekali lagi perlu kita hembuskan isu kesadaran untuk melakukan pembenahan dalam berbagai dimensi yang ada. Geser isu global warming ini dengan isu kesadaran posisi dan kesadaran diri sambil terus berlalu melakukan pembenahan. Pembenahan infrastruktur, pembenahan sosial, pembenahan budaya, pembenahan ekonomi dan sebagainya. Salah satunya isu global warming ini, dan ketika kita sudah memiliki kesadaran yang total, setidaknya global warming akan mengucapkan salam perpisahan bagi umat manusia untuk waktu yang lama. Sadarlah wahai manusia bahwa kerusakan di bumi dan di laut adalah ulah manusia semata (terjemah bebas dari salah satu ayat Al-Quran).
30 Desember 2007
Menggagas Kembali Sastra Pesantren
Wahyu Choerul Cahyadi*
Sastra pesantren merupakan khasanah budaya. Eksotisme pesantren dapat dilihat dari banyak sisi, baik lingkungan, pendidikan, pengajaran, manusia, bahkan dapat dilihat dari adat istiadatnya dan juga seninya. Sastra pesantren, dalam artian produktifitas santri pesantren dalam melakukan gerak bersastra untuk melahirkan karya sastra dan sastrawan yang berasal dari pesantren, atau lebih tepatnya semangat melakukan gerak sastra di pesantren. Itu sekelumit maksud dari sastra pesantren.
Banyak contoh sastrawan yang berasal dari pesantren, Emha Ainun Najib, Hamid Jabbar, Zainal Arifin Toha, D. Zawawi Imron hingga K.H. Mustofa Bisri serta sederet nama yang lainnya. Pesantren erat sekali hubungannya dengan sastra, syair-syair klasik dalam bentuk lagu puji-pujian bagian dari imajinasi dalam bersastra. Setidaknya, posisi sastra dalam dunia pesantren begitu tinggi. Integral, menyatu antara sastra dan pesantren, itu yang mesti dipahami.
Mengggagas Kembali Gerakan Sastra Pesantren
Menjadi penting sekali untuk digugah semangat bersastra dalam pesantren. Semangat menghasilkan sebuah karya, semangat dalam melakukan gerak bersastra. Kabupeten Banyumas, kurang lebih ada 150 lebih pesantren, baik skala kecil maupun besar yang berdiri diseluruh wilayah Banyumas. Dipandang dari banyaknya pesantren tentunya Banyumas merupakan lahan subur untuk menghasilkan para seniman sastra pesantren. Tapi yang menjadi pertanyaan, masihkah ada greget bersastra di pesantren? atau yang menjadi persoalan apakah tidak ada yang mencoba menghidupkan sastra atau sastrawan pesantren di wilayah Banyumas, sehingga kesunyian seniman santri dapat hidup kembali, tidak mati suri atau bahkan benar-benar mati.
Ini yang penting kita jawab secara bersama, tentang keberadaan dan kepedulian serta eksistensi terhadap sastra pesantren. Pesantren memiliki eksotisme tersendiri, sastra bagian dari ruh pesantren --ketika kita mau menengok sejarah. Mercusuar Banyumas bisa disentuh melalui pesantren yang mampu produktif menghasilkan berbagai ciri khas pesantren.
Santri haruslah diberi injeksi gerak bersastra, dan injeksi bersastra secara massif harus sering diberikan, sehingga pesantren mampu melahirkan sastrawan yang mampu keluar dari kurungan. Kemudian, siapa yang lebih mempunyai kewenangan untuk menggugah kembali sastra pesantren? Apakah dari kalangan santri sendiri, atau dari pihak pesantren ataukah ada lembaga yang lebih peduli?
Tentu, semua unsur mesti terlibat. Dari pihak santri sendiri dapat mengambil spirit para pendahulunya yang telah menyatukan diri mereka dengan dimensi seni sastra untuk dijadikan inspirasi dalam berkarya sastra, dengan membuat forum-forum diskusi kecil yang mengkaji sastra. Pihak pesantren yang merupakan ”induk semang” dari para santri, lebih membuka diri dan melakukan dorongan aktif untuk melakukan gerak sastra. Karena ketika pihak pesantren memberikan restu serta mendorong gerak dalam bersastra, ta’dhim para santri terhadap apa yang dianjurkan oleh pihak pesantren (para pengasuh pondok/ kyai) akan diturut. Itu garapan internal yang mesti dilakukan oleh pesantren dan nantinya agar seniman sastra pesantren tetap ada.
Disatu sisi dorongan dari luar pesantren memang harus ada, tanggung jawab untuk merawat sastra pesantren harus dilakukan dan wajib sifatnya. Pihak yang lebih terkait adalah Dewan Kesenian Kabupaten Banyumas (DKKB) yang lebih memiliki kewenangan. DKKB diharapkan mampu merangkul pesantren untuk melahirkan para seniman (baca: sastrawan). Secara simultan, dewan kesenian melakukan kontrol, komunikasi serta suntikan nafas segar bagi keberlangsungan langkah gerak sastra pesantren. Berbagai bentuk kegiatan yang mengarah proses kreatif para santri dalam bersastra haruslah sering dilakukan. Inilah bagian dari solusi dan peran yang mesti dilakukan oleh DKKB dalam mengawal eksistensi sastra pesantren
Pesantren di Kabupaten Banyumas perlu melakukan perubahan untuk lebih produktif melahirkan para seniman (baca: sastrawan). DKKB menjadi dinamisator yang terus melakukan dorongan dari luar. DKKB diharapkan mampu melakukan terobosan-terobosan yang lebih tajam, sehingga Banyumas dapat mengangkat mutiara-mutiaranya menjadi penerus generasi sastra santri.
Eksistensi sastra pesantren diperlukan, di mana Al-Quran telah memposisikan sastra bagitu tinggi, dan pesantren tidak bisa lepas dari sejarah, bahwa sastra merupakan bagian integral dari pesantren. Oleh karena itu, menggagas kembali sastra pesantren sudah tiba waktunya. Maka memerlukan motor penggerak utama, DKKB merupakan kunci utamanya. Dengan suburnya kajian sastra di pesantren diharapkan menjadi lautan sastrawan dalam melakukan gerak sastra yang memberikan dimensi spiritual di tengah gejolak bangsa yang semakin tidak karuan. Kesejukan sastra pesantren yang lahir dari tangan-tangan yang erat sentuhannya dengan dimensi spiritual merupakan ciri khas yang berbeda.
Wallohua’lam bisshowab.
Sastra pesantren merupakan khasanah budaya. Eksotisme pesantren dapat dilihat dari banyak sisi, baik lingkungan, pendidikan, pengajaran, manusia, bahkan dapat dilihat dari adat istiadatnya dan juga seninya. Sastra pesantren, dalam artian produktifitas santri pesantren dalam melakukan gerak bersastra untuk melahirkan karya sastra dan sastrawan yang berasal dari pesantren, atau lebih tepatnya semangat melakukan gerak sastra di pesantren. Itu sekelumit maksud dari sastra pesantren.
Banyak contoh sastrawan yang berasal dari pesantren, Emha Ainun Najib, Hamid Jabbar, Zainal Arifin Toha, D. Zawawi Imron hingga K.H. Mustofa Bisri serta sederet nama yang lainnya. Pesantren erat sekali hubungannya dengan sastra, syair-syair klasik dalam bentuk lagu puji-pujian bagian dari imajinasi dalam bersastra. Setidaknya, posisi sastra dalam dunia pesantren begitu tinggi. Integral, menyatu antara sastra dan pesantren, itu yang mesti dipahami.
Mengggagas Kembali Gerakan Sastra Pesantren
Menjadi penting sekali untuk digugah semangat bersastra dalam pesantren. Semangat menghasilkan sebuah karya, semangat dalam melakukan gerak bersastra. Kabupeten Banyumas, kurang lebih ada 150 lebih pesantren, baik skala kecil maupun besar yang berdiri diseluruh wilayah Banyumas. Dipandang dari banyaknya pesantren tentunya Banyumas merupakan lahan subur untuk menghasilkan para seniman sastra pesantren. Tapi yang menjadi pertanyaan, masihkah ada greget bersastra di pesantren? atau yang menjadi persoalan apakah tidak ada yang mencoba menghidupkan sastra atau sastrawan pesantren di wilayah Banyumas, sehingga kesunyian seniman santri dapat hidup kembali, tidak mati suri atau bahkan benar-benar mati.
Ini yang penting kita jawab secara bersama, tentang keberadaan dan kepedulian serta eksistensi terhadap sastra pesantren. Pesantren memiliki eksotisme tersendiri, sastra bagian dari ruh pesantren --ketika kita mau menengok sejarah. Mercusuar Banyumas bisa disentuh melalui pesantren yang mampu produktif menghasilkan berbagai ciri khas pesantren.
Santri haruslah diberi injeksi gerak bersastra, dan injeksi bersastra secara massif harus sering diberikan, sehingga pesantren mampu melahirkan sastrawan yang mampu keluar dari kurungan. Kemudian, siapa yang lebih mempunyai kewenangan untuk menggugah kembali sastra pesantren? Apakah dari kalangan santri sendiri, atau dari pihak pesantren ataukah ada lembaga yang lebih peduli?
Tentu, semua unsur mesti terlibat. Dari pihak santri sendiri dapat mengambil spirit para pendahulunya yang telah menyatukan diri mereka dengan dimensi seni sastra untuk dijadikan inspirasi dalam berkarya sastra, dengan membuat forum-forum diskusi kecil yang mengkaji sastra. Pihak pesantren yang merupakan ”induk semang” dari para santri, lebih membuka diri dan melakukan dorongan aktif untuk melakukan gerak sastra. Karena ketika pihak pesantren memberikan restu serta mendorong gerak dalam bersastra, ta’dhim para santri terhadap apa yang dianjurkan oleh pihak pesantren (para pengasuh pondok/ kyai) akan diturut. Itu garapan internal yang mesti dilakukan oleh pesantren dan nantinya agar seniman sastra pesantren tetap ada.
Disatu sisi dorongan dari luar pesantren memang harus ada, tanggung jawab untuk merawat sastra pesantren harus dilakukan dan wajib sifatnya. Pihak yang lebih terkait adalah Dewan Kesenian Kabupaten Banyumas (DKKB) yang lebih memiliki kewenangan. DKKB diharapkan mampu merangkul pesantren untuk melahirkan para seniman (baca: sastrawan). Secara simultan, dewan kesenian melakukan kontrol, komunikasi serta suntikan nafas segar bagi keberlangsungan langkah gerak sastra pesantren. Berbagai bentuk kegiatan yang mengarah proses kreatif para santri dalam bersastra haruslah sering dilakukan. Inilah bagian dari solusi dan peran yang mesti dilakukan oleh DKKB dalam mengawal eksistensi sastra pesantren
Pesantren di Kabupaten Banyumas perlu melakukan perubahan untuk lebih produktif melahirkan para seniman (baca: sastrawan). DKKB menjadi dinamisator yang terus melakukan dorongan dari luar. DKKB diharapkan mampu melakukan terobosan-terobosan yang lebih tajam, sehingga Banyumas dapat mengangkat mutiara-mutiaranya menjadi penerus generasi sastra santri.
Eksistensi sastra pesantren diperlukan, di mana Al-Quran telah memposisikan sastra bagitu tinggi, dan pesantren tidak bisa lepas dari sejarah, bahwa sastra merupakan bagian integral dari pesantren. Oleh karena itu, menggagas kembali sastra pesantren sudah tiba waktunya. Maka memerlukan motor penggerak utama, DKKB merupakan kunci utamanya. Dengan suburnya kajian sastra di pesantren diharapkan menjadi lautan sastrawan dalam melakukan gerak sastra yang memberikan dimensi spiritual di tengah gejolak bangsa yang semakin tidak karuan. Kesejukan sastra pesantren yang lahir dari tangan-tangan yang erat sentuhannya dengan dimensi spiritual merupakan ciri khas yang berbeda.
Wallohua’lam bisshowab.
Sajak-Orang Kecil
Orang Kecil
orang kecil selalu terpencil,
mengerdil, dianggap baksil.
tak pernah mendapatkan kedamaian,
entah bagaimana, ini semakin menjadi.
orang kecil yang selalu tersisih
dari kehidupan yang selayaknya
terpontang-panting menangkap bencana
dari para pembuat derita.
tak ada yang mau mengerti
himpitan yang menghantam
badan, perasaan.
orang-orang kecil
berdiri, sendiri.
di tengah-tengah luas sawah
bagai orang-orangan yang tak ada arti
rumah-suwung, desember 2007
Aroma Cinta
tak ada aroma kopi,
ataupun teh,
apalagi manis susu dan madu
yang menyegarkan dingin badan,
di sore yang mendung
seketika kau datang melalui bayangan,
menyuguhkan aroma beda,
membakar tubuhku
mengganti dingin badan.
aroma itu membuat piramida kerinduan
yang terus memuncak,
aroma cintamu, yang entah kapan
menjadi kenyataan
hingga,
aku terdiam bersama sore
yang tertutup mendung
dan,
tak ada aroma lagi dalam ruangan
rumah-suwung, desember 2007
Berita Kecil Tentang dan Untuk Bunda
Kado Untuk Ibu.
pedihmu dalam ratapan yang tak henti
dari awal kehidupan hingga kini,
hatimu sungguh menjadi emas yang tak ternilai
harga jualnya
dalam pedih yang sangat,
untuk memetik buah yang entah kapan akan masak
engkau sabar dalam penantian
munajatmu, dengan linangan air mata
menjadi mutiara yang mahal harganya
dihadapan Ia yang Maha Perkasa
ibu
aku menangis menulis ini
akupun merasakan pedih, perih.
tak kuasa aku meneruskan,
tulisan-tulisan tentangmu.
dan ungkapan kata apapun,
tak setimpal untuk mengobati kepedihan yang ibu rasakan
hanya Tuhan yang maha mengerti
ibu
sabarlah, suatu saat kita akan menemukan bahagia.
dan setiap orang akan memahami dengan kehidupan ini.
rumah-suwung, desember 2007
Sepi
sepi ini bagai maut yang menjemput
dalam ketidak pastian dan kenestapaan
yang menyeruak dalam batin
33 helai daun sirih beroroma semboja
menawarkan riuh renyah cinta
seketika bahagia.
rumah-suwung, desember 2007
Aku Bukanlah Siapa-Siapa
aku bukanlah ayub yang sabar
bukan pula yusuf yang tampan
apalagi sulaiman yang kaya
aku bukanlah siapa-siapa
aku bukanlah ismail yang patuh
bukan pula ibrahim yang teguh
apalagi nuh yang kokoh
aku bukanlah siapa-siapa
tak ada arti yang bermakna
aku bukanlah daud yang perkasa
buka pula musa yang gagah
apalagi dzulkifli yang tak marah
aku sungguh tiada artinya
aku bukan isa
apalagi khotamul anbiya,
sayyidina ahmad mustofa
ya habibi, ya rosululloh
yang lepas dari dosa
aku hanya manusia biasa,
maka kenali aku.
hingga dasar batinku
sebelum sesal kau dapatkan.
sebelum hati kita padukan.
rumah-suwung, desember 2007
orang kecil selalu terpencil,
mengerdil, dianggap baksil.
tak pernah mendapatkan kedamaian,
entah bagaimana, ini semakin menjadi.
orang kecil yang selalu tersisih
dari kehidupan yang selayaknya
terpontang-panting menangkap bencana
dari para pembuat derita.
tak ada yang mau mengerti
himpitan yang menghantam
badan, perasaan.
orang-orang kecil
berdiri, sendiri.
di tengah-tengah luas sawah
bagai orang-orangan yang tak ada arti
rumah-suwung, desember 2007
Aroma Cinta
tak ada aroma kopi,
ataupun teh,
apalagi manis susu dan madu
yang menyegarkan dingin badan,
di sore yang mendung
seketika kau datang melalui bayangan,
menyuguhkan aroma beda,
membakar tubuhku
mengganti dingin badan.
aroma itu membuat piramida kerinduan
yang terus memuncak,
aroma cintamu, yang entah kapan
menjadi kenyataan
hingga,
aku terdiam bersama sore
yang tertutup mendung
dan,
tak ada aroma lagi dalam ruangan
rumah-suwung, desember 2007
Berita Kecil Tentang dan Untuk Bunda
Kado Untuk Ibu.
pedihmu dalam ratapan yang tak henti
dari awal kehidupan hingga kini,
hatimu sungguh menjadi emas yang tak ternilai
harga jualnya
dalam pedih yang sangat,
untuk memetik buah yang entah kapan akan masak
engkau sabar dalam penantian
munajatmu, dengan linangan air mata
menjadi mutiara yang mahal harganya
dihadapan Ia yang Maha Perkasa
ibu
aku menangis menulis ini
akupun merasakan pedih, perih.
tak kuasa aku meneruskan,
tulisan-tulisan tentangmu.
dan ungkapan kata apapun,
tak setimpal untuk mengobati kepedihan yang ibu rasakan
hanya Tuhan yang maha mengerti
ibu
sabarlah, suatu saat kita akan menemukan bahagia.
dan setiap orang akan memahami dengan kehidupan ini.
rumah-suwung, desember 2007
Sepi
sepi ini bagai maut yang menjemput
dalam ketidak pastian dan kenestapaan
yang menyeruak dalam batin
33 helai daun sirih beroroma semboja
menawarkan riuh renyah cinta
seketika bahagia.
rumah-suwung, desember 2007
Aku Bukanlah Siapa-Siapa
aku bukanlah ayub yang sabar
bukan pula yusuf yang tampan
apalagi sulaiman yang kaya
aku bukanlah siapa-siapa
aku bukanlah ismail yang patuh
bukan pula ibrahim yang teguh
apalagi nuh yang kokoh
aku bukanlah siapa-siapa
tak ada arti yang bermakna
aku bukanlah daud yang perkasa
buka pula musa yang gagah
apalagi dzulkifli yang tak marah
aku sungguh tiada artinya
aku bukan isa
apalagi khotamul anbiya,
sayyidina ahmad mustofa
ya habibi, ya rosululloh
yang lepas dari dosa
aku hanya manusia biasa,
maka kenali aku.
hingga dasar batinku
sebelum sesal kau dapatkan.
sebelum hati kita padukan.
rumah-suwung, desember 2007
Langganan:
Postingan (Atom)